Rabu, 03 Mei 2017

Dogmatika



Doktrin Kristologi (Konsili Efesus dan Chalsedon dan Konstantinopel II-III)
I.                   Pendahuluan
Dalam doktrin Kristologi mengenai tentang tabiat Kristus. Dimana tentang kepribadian Yesus dipertanyakan. Disini para konsili memperdebatkan masalah tentang doktrin Kristologi. Yesus itu hadir sebagai manusia sejati dan Allah hadir dalam diri Yesus Kristus. Disini juga konsili memperdebatkan masalah-masalah itu. Semoga dapat menambah wawasan kita bersama.

II.                Pembahasan
2.1. Latar Belakang Doktrin Kristologi
Pertikaian tentang Trinitas diusul dengan pertikaian tentang kedua tabiat Kristus. Yang menjadi persoalan adalah bagaimana eratnya hubungan antara kemanusiaan dan keilahian didalam diri Kristus.[1] Kristologi dan ajaran Trinitas senantiasa saling mempengaruhi, maka bukanlah suatu kebetulan kalau dalam abad ke-4 M. Terjadi kontroversi pertama mengenai Trinitas dan baru kemudian mengenai Kristologi. Ajaran mengenai Trinitas memberi perhatian terhadap masalah keesaan Allah dalam konteks iman, tidak hanya berkata-kata tentang keilahian Bapa, tetapi juga mengenai keilahian Anak dan Roh Kudus. Pada pihak lain, Kristologi menaruh perhatian terhadap masalah hubungan antara apa yang ilahi dan apa yang insani dalam pribadi Yesus Kristus. Persoalan itu bukan saja persoalan dengan Yesus Kristus, bahwa yang diungkapan disini bahwa Yesus Kristus adalah manusia sejati, dan Allah sendiri hadir dalam Dia, bahkan Ia sendiri adalah Allah.[2]

2.2. Latar Belakang Konsili
Konsili merupakan yang diambil dari bahasa latin yaitu “Concillium” berarti rapat untuk merundingkan sesuatu. Kata yang dipakai adalah kata sinode dari bahasa Yunani  synodos” yang juga berarti rapat atau pertemuan. Dalam gereja-gereja kuno istialh-istilah ini dipakai untuk merundingkan perkara-perkara kegerejaan.[3]
2.2.1.      Konsili Efesus
Konsili Efesus yang dipimpin oleh Theodosius II untuk menyelesaikan pertikaian Nestorius pada tahun 431. Konsili dibuka pada 22 Juli 431 oleh Memnon.[4] Didalam Konsili Efesus Cyrillus yang menang, akan tetapi kemenangan Cyrillus tidak bertahan lama, seorang kepala biara, begitu menekankan keesaan Kristus sehingga ia tidak mau membedakan lagi kedua tabiat Kristus. Setelah Kristus menjadi manusia ia mempunyai satu tabiat saja, campuran antara yang ilahi dan yang manusiawi. Pendapat ini disebut Monofistisme dari kata Monos adalah satu dan fysis adalah tabiat. Pendapatnya menimbulkan perlawanan, karena dengan demikian Kristus sebagai oknum campuran bukan lagi manusia sejati seperti kita, bahkan juga bukan Allah yang sejati seperti Allah Bapa, akan tetapi yang ditekankan Cyrillus adalah Kristus adalah Allah seperti Allah dan menjadi manusia, supaya manusia diselamatkan.[5]
Dalam pertikaian mereka adalah pertikaian tentang kedua tabiat Kristus itu tidak begitu erat, misalnya “seperti minyak dan air” yang disatukan dalam gelas. Zat-zat itu tidak bercampur, tetapi masing-masing mempertahankan sifatnya sendiri. Sedangkan Cyrillus mengatakan hubungan itu seperti antara “susu dan air”. Sifat air tidak nampak lagi ketika dicampur dengan susu.[6] Konsili ini juga dikarenakan pertikaian mereka mengenai Bunda Allah (Theotokos) untuk Maria. Jemaatnya terpecah belah menjadi dua, yaitu mereka yang mempertahankan pemakaian Bunda Allah dan yang mempertahankan gelar Bunda Manusia (Antropotokos) untuk Maria. Nestorius merupakan suatu gelar baru bagi Maria dibandingnya lebih tepat yaitu Bunda Kristus (Kristokos) sebab Kristus adalah sama dan manusia pada saat yang sama. Dan pendapat ini kembali lagi ditentang oleh Cyrillus supaya Maria disebut Theotokos.[7] 
v  Hasil Konsili Efesus
Dalam konsili Konstatinopel ajaran Nestorius dikatakan sesat. Nestorius diminta untuk menerima ajaran seperti yang ditulis Cyrillus dan kalau tidak ia dikucilkan. Paus memberikan keistimewaan kepada Cyrillus untuk melaksanakan pengucilan jika dalam tempo 10 hari Nestorius tidak melaksanakan keputusan sinode.[8] Dan konsili juga memutuskan bahwa Nestorius dipecat dari keuskupan dan serta pengajarannya tentang “tabiat Kristus” dikutuk. Dan ditegaskan lagi dalam sidang konsili Efesus istilah Theotokos dibenarkan.[9]
2.2.2.      Konsili Chalcedon
Konsili Chalcedon dipangil oleh Kaisar Marcianus untuk menyelesaikan persoalan Eutyces yang telah dikutuk oleh Leo. Konsili bertemu di Chalcedon pada bulan Oktober 451. Konsili ini dianggap sebagai konsili umum atau oikumenis yang ke IV. Namun tujuan sebenarnya konsili Chalcedon ini meniadakan ajaran sesat, sehingga lebih membantu untuk menjadi penjelasan tersebut terutama dalam arti negatifnya, yaitu sebagai jaminan terhadap  ajaran sesat. Chacedon tidak menetapkan satu satu kristologi normatif, ia hanya menentukan batas-batas gerak kristologi ortodoks. Rumusan chalcedon harus lebih dilihat sebagai pagar pembatas dari pada alat pengekang. Rumusan mengemukakan empat pokok melawan ajaran sesat kuno. Yaitu dalam diri Yesus Kristus ke-Allahan yang sejati (Arius), dipersatukan dan tidak tidak terceraikan didalam satu oknum (Nestorius). Ajaran Chalcedon dapat disimpulkan dengan satu ungkapan: “Satu Oknum berkodrat dua”. Tetapi apakah artinya? Apa bedanya antara “oknum” dan “kodrat”? Kedua istilah sebaiknya dipandang sebagai jawaban atas dua pertanyaan. Pertama: Siapakah Yesus Kristus itu? Dialah oknum Allah Firman yang satu yang telah menjadi manusia. Apakah sifatnya? Ia sungguh Ilahi dan benar-benar manusia, dua kodrat. Dengan kata lain, didalam diri Yesus Kristus terdapat hanya satu “Aku”, satu “subjek” dari segala sesuatu yang Ia alami. Subjek atau oknum yang satu ini adalah Firman Allah, tidak ada yang lain (Oknum yang lain) yang menjadi Yesus insani. Firman tetap sebagai Allah tanpa dikurangi keallahan-Nya atau kodrat ilahi-Nya, namun Ia juga mengambil segala sesuatu berhubungan dengan kemanusiaan atau kodrat insani[10]
v  Hasil Konsili Chalcedon
Jumlah yang ukup besar dari kelompok Alexandria menolak rumusan Chalcedon. Terjadilah usaha-usaha untuk mendamaikan mereka yang mencapai puncaknya dengan penyelenggaraan konsili konstatinopel pada tahun 553. Disitu rumusan Chalcedon diberikan penafsiran menurut pandangan Alexandria. Akan tetapi ini masih juga tidak memuaskan para pembangkang. Usaha membujuk mereka dilanjutkan dengan menambahkan ajaran bahwa Yesus Kristus hanya mempunyai satu kemauan. Ini ditentang oleh Maximus Sang Syahid dan ditolak pada konsili konstatinopel pada tahun 680. Kalau debat-debat pada permulaan berkisar pada pokok-pokok yang prinsip menyangkut pribadi Yesus Kristus, maka pembicaraan-pembicaraan yang kemudian memberi kesan lebih merupakan perselisihan mengenai kata-kata. Debat itu sering berubah menjadi argumentasi mengenai penafsiran terhadap tradisi serta penggunaan rumusan-rumusan daripada Yesus Kristus yang hidup, yang diberitakan dalam kitab-kitab Injil.[11]
2.2.3.      Konstatinopel II-III
v  Konstatinopel II
Konsili Chalcedon mengakibatkan perpecahan yang sengit di Timur. Kelompok Antiokhia merupakan minoritas mendukung Chalcedon. Sejumlah besar orang Alexandria menentang Chalcedon dan berpegang pada rumusan Cyrillus “Satu-satunya kodrat Firman yang telah menjadi manusia”. Oleh sebab itu mereka disebut monofisit (dari kata Yunani artinya kodrat tunggal). Kontrafersi ini terus berlangsung selama bertahun-tahun sehingga pada tahun 553 Justinus memanggil konstatinopel, konsili oikumenes yang kelima. Konsili ini berusaha menerangkan para monofisit dengan tafsiran rumusan Chalcedon menurut Cyrillus.[12] Konsili ini mengartikan kembali kredo Chalcedon lebih kearah kesatuan kodrat insani dan ilahi Yesus dan menetapkan bahwa istilah kesatuan hypostatis yang ditempa oleh Cyrillus itu mengungkapkan arti yang tepat dari ajaran Chalcedon.[13]
Konsili oikumenes V, yang berhimpun di Konstatinopel pada tahun 553 memberikan perhatian baru terhadap masalah Kristologi. Pada abad ke-7 kaisar Heraclius sekali lagi mencoba memenangkan kaum monofisit bagi gereja kerajaan. Pada tahun 633 ia mencapai kesatuan dengan suatu perumusan yang menetapkan bahwa Kristus yang terdiri dari dua tabiat itu melaksanakan segala sesuatu dengan satu energi yang bersifat theandrik (bersifat ilahi-manusia). Formula ini kemudian membawa orang kedalam kontroversi-kontroversi yang baru dan yang lebih pahit lagi. Konsepsi “satu energi” menimbulkan perlawanan yang besar khususnya di Barat. Untuk satu tertentu terdapatlah suatu persetujuan untuk menggantikan ungkapan “satu kehendak”. Perumusan ini bahkan disahkan oleh Paus Honorius I. Tetapi ungkapan itu tidak dapat memuaskan pengikut-pengikut pengakuan iman Chalcedon. Timbullah perlawanan yang hebat di Timur dan Barat terhadap monotheletisme. (ajaran satu kehendak). Tetapi pada akhirnya perlawanan terhadap monotheletisme mencapai kemenangan. Dalam konsili ini memutuskan bahwa Chalcedon harus ditafsirkan menurut tafsiran Alexandria. Akhirnya suatu rumusan Alexandria yang sangat disukai para monofisit diterima yaitu salah satu dari ke Tritunggalan disalibkan dalam daging.[14]
v  Hasil Konsili Konstatinopel II
Pada tahun 544, atas desakan Aleksandria, kaisar mengeluarkan melawan Theodorus dan Mopsuestia satu seorang teolog kelompok Antiokhia yang meninggal tahun 428 dan mungkin seorang guru dari Nestorius. Hanya karya-karya pertama mereka yang anti-Cyrillus dikutuk. Mereka sendiri sudah dipulihkan kembali kedudukan mereka semula pada konsili Chalcedon. Yang terpenting dari konsili ini ialah harus ditafsirkan menurut tafsiran Alexandria. Para uskup menagku bahwa menerima keempat sinode yang kudus, yaitu Nicea, Konstatinopel, Efesus pertama, dan Chalcedon telah menerima dan sekarang menghajar segala yang telah ditetapkan konsili-konsili tersebut mengenai tenytang iman. Dalam anatema tersebut menunjukkan bahwa istilah-istilah Cyrillus yang tidak terdapat dalam rumusan Chalcedon dapat diterima asal saja tidak diartikan suatu pengadukan atau pelarutan dari kedua kodrat yang mencair menjadi satu. Akhirnya suatu rumusan Alexandria yang sangat disukai para Monofisit, diterima, yaitu: salah satu Ketritunggalan disalibkan dalam daging.
v  Konsili Konstatinopel III
Konsili oikumenis VI yang berhimpun di Konstatinopel pada tahun 680-681, menyetujui Dyotheletisme (ajaran tentang dua kehendak). Konsili inimemutuskan bahwa dalam acuan terhadap persoalan Yesus Kristus mempunyai satu atau dua kehendak dengan asumsi dengan Ia mempunyai kehendak, telah diperintahkan oleh pengakuan iman Chalcedon. Tapi sejajar dengan pengakuan iman Chalcedon, disini diungkapkan bahwa dua kehendak tabiat dalam Kristus diakui sebagai yang tidak tercampur, tidak berubah, tidak terbagi, tidak terpisah.[15]
Para monofisit tidak puas dengan hasilKonstatinopel pada tahun 553. Sergius uskup agung dari Konstatinopel, mengusulkan suatu rumusan yang berasaldari severus. Sergius kemudian mengusulkan rumusan yaitu bahwa Yesus Kristus hanya mempunyai satu kehendak. Paus Honorius dari Roma setuju dengan rumusan ini pada tahun 638, ia dan Sergius bersama-sama menerbitkan uraian tentang iman. Pada tahun 649 Paus Martinus memanggil sinode di Roma yang memproklamasikan bahwa Yesus Kristus mempunyai dua kehendak, tetapi Martinus dibuang karena usahanya ini, setelah itu posisi Roma terhadap Monotheletisme agak mereda sampai pada masa jabatan Paus Agatho. Ia berhasil membujuk Kaisar Timur untuk memanggil konsili lagi di Konstatinopel yaitu konsili Oikumenes ke enam.[16] Tiga alasan utama dikemukakan untuk menyokong doktrin kehendak sebagai berikut:
1.      Paus Agatho mendasarkan diri pada sejumlah bagian Alkitab tetapi kesemuanya menunjukkan perbedaan antara kehendak Yesus Kristus dan kehendak Bapa-Nya.
2.      Agatho jua menunjukkan bahwa doktrin dua kodrat berarti adanya dua kehendak juga.
3.      Dibuktikan bahwa tanpa kehendak insani, Yesus mempunyai kehendak insani yang tidak lengkap dan karena itu tidak menjadi manusia sejati. Tanpa kehendak manusia, tidak ada ketaatan atau kebajikan manusiawi. Jika tidak memiliki kehendak insani, maka kita tidak dapat mengatakan bahwa Ia sama dengan kita.[17]
v  Hasil Konsili Konstatinopel III[18]
Konsili juga menghasilkan suatu rumusan Iman. Rumusan ini menyatakan bahwa konsili dengan saleh menyetujui sepenuhnya kelima sinode yang kudus dan oikumenis. Setelah mengutip seluruh rumusan Chalcedon, rumusan tersebut melanjutkan sebagai berikut:
“Kami menyatakan pula bahwa didalam (diri Yesus Kristus) ada dua kehendak yang kodrati dan dua daya kodrati tanpa penceraian, tanpa perubahan, tanpa pemisahan, tanpa pengadukan, menurut ajaran bapa-bapa yang kudus. Kedua kehendak itu, kodrati tidak saling bertentangan (semoga Allah mencegahnya!) sebagaimana ditandaskan oleh orang-orang sesat yang durhaka. Akan tetapi kehendak insani-Nya mengikuti kehendak Ilahi-Nya yang Mahakuasa, ini tidak melawan atau segan menuruti tetapi takluk...Kami percaya bahwa kita Yesus Kristus adalah salah satu dari ketritunggalan dan Allah kita yang sejati, juga setelah menjadi manusia. Kita menyatakan bahwa kedua kodrat-Nya bersinar dalam satu hypostasis, dan dalam bentuk ini Ia mengadakan mukjizat dan menderita sepanjang masa inkarnasi. Ini bukan hanya kelihatan demikian, tetapi merupakan kenyataan, karena perbedaan kodrat yang harus diakui terdapat dalam satu hypostasis. Walaupun berpadu, kedua kodrat menghendaki dan melakukan hal-hal yang patut baginya. Dan ini terjadi tanpa pemisahan dan tanpa pengadukan. Oleh sebab itu, kami mengaku dua kehendak dan dua daya, yang bergabung satu dengan yang lain untuk menyelamatkan umat manusia”.
Paus Agatho mendasarkan diri pada sejumlah bagian Alkitab. Tetapi kesemuanyamenunjukkan perbedaan antara kehendak Yesus Kristus dan kehendak Bapa-Nya, misalnya: “Aku tidak menuruti kehendak-Ku sendiri, melainkan kehendak Dia yang mengutus Aku” (Yoh. 5:30). Ayat-ayat ini tidak sepenuhnya menyokong ide dua kehendak dalam diri Yesus Kristus. Agatho juga menunjukkan bahwa doktrin dua kodrat berarti adanya dua kehendak juga. Mereka yang mengatakan bahwa Kristus memiliki satu kehendak, harus juga mengatakan bahwa kehendak ini adalah kehendak Ilahi atau Insani atau suatu gabungan dari kedua-duanya bercampur dan teraduk, atau... bahwa Kristus mempunyai satu kehendak dan satu cara bekerja, yang keluar dari satu kodrat yang kompleks. Kesemua pilihan ini berlawan dengan ajaran Chalcedon yang mengatakan bahwa ciri-ciri yang jelas dari masing-masing kodrat dipertahankan. Maka tidak dapat diragukan lagi bahwa doktrin dua kehendak adalah konsekuensi yang tak terelakan dari dua doktrin dua kodrat dalam rumusan Chalcedon.
Ø  Dibuktikan bahwa tanpa kehendak insani, Yesus mempunyai kodrat insani yang tidak lngkap dan karena itu tidak menjadi manusia sejati. Tanpa kehendak manusia, tidak ada ketaatan atau kebajikan manusiawi. Dan Yesus tidak lagi menjadi pola hidup dan teladan bagi kita. Jika tidak memiliki kehendak insani, mak kita tidak dapat mengatakan bahwa Ia “sama dengan kita, Ia telah dicobai” (Ibr. 4:15).

III.             Kesimpulan
Konsili merupakan rapat atau perundingan. Dimana mereka para konsili ini membahas tentang Yesus Kristus itu. Bahwa mereka membuat pengajaran tersendiri tentang memahami tentang tabia Kristus. Yang menjadi persoalan adalah, bagaimana eratnya hubungan anatara kemanusiaan dan keilahian didalam diri Kristus. Bahkan mereka membuat pernyataan masing-masing.tentang hubungan dalam pribadi yang satu. Makanya mereka hadir untuk menyelesaikan permalahan itu.

IV.             Daftar Pustaka
De Jonge Christian, Gereja Mencari Jawab, Jakarta: BPK-GM, 2003
De Jonge Christian, Gereja Mencari Jawaban, Kapital Selekta Sejarah Gereja, Jakarta: BPK-GM, 2009
Lane Tony, Runtut Pijar, Jakarta: BPK-GM, 2009
Lohse Bernhard, Pengantar Sejarah Dogma Kristen, Jakarta: BPK-GM, 2008
Syukur Nico, Teologi Sistematika, Yogyakarta: Kanisius, 2004
Van Den End Th., Harta Dalam Bejana, Jakarta: BPK-GM, 2009
Wellem F.D., Kamus Sejarah Gereja, Jakarta: BPK-GM, 2006
Wellem F.D., Riwayat Hidup Singkat Tokoh-tokoh Dalam Sejarah Gereja, Jakarta: BPK-GM, 2011


[1]Th. Van Den End, Harta Dalam Bejana, (Jakarta: BPK-GM, 2009), 71
[2]Bernhard Lohse, Pengantar Sejarah Dogma Kristen, (Jakarta: BPK-GM, 2008), 90-91
[3]Christian De Jonge, Gereja Mencari Jawaban, Kapital Selekta Sejarah Gereja, (Jakarta: BPK-GM, 2009), 1
[4]F.D. Wellem, Kamus Sejarah Gereja, (Jakarta: BPK-GM, 2006), 236
[5]Christian De Jonge, Gereja Mencari Jawab, (Jakarta: BPK-GM, 2003), 7-8
[6]Th. Van Den End, Harta Dalam Bejana, 74
[7]F.D. Wellem, Riwayat Hidup Singkat Tokoh-tokoh Dalam Sejarah Gereja, (Jakarta: BPK-GM, 2011),142
[8]F.D. Wellem, Riwayat Hidup Singkat Tokoh-tokoh Dalam Sejarah Gereja, 143
[9]F.D. Wellem, Kamus Sejarah Gereja, 234
[10]Tony Lane, Runtut Pijar, (Jakarta: BPK-GM, 2009), 50-51
[11]Tony Lane, Runtut Pijar, (Jakarta: BPK-GM, 2009), 52
[12]Tony Lane, Runtut Pijar, 59
[13]Nico Syukur, Teologi Sistematika, (Yogyakarta: Kanisius, 2004), 228
[14]Tony Lane, Runtut Pijar, 59-60
[15]Bernhard Lohse, Pengantar Sejarah Dogma Kristen, 122
[16] Tony Lane, Runtut Pijar, 61
[17]Nico Syukur, Teologi Sistematika, 230
[18]Tony Lane, Runtut Pijar, 62-63

2 komentar:

  1. Trimakasih.
    Saya mau bertanya kepada Anda?
    Apakah ini bisa dipakai untuk Gereja dan diajarkan kepada Gereja. Bagaimana para Gereja bisa menjawab dengan argumen yang bebeda?
    Tolong ditanggapi?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bisa. Melihat dari konteks Gereja nya saudara. Dan Gereja sudah memberi jawaban atas semuanya. Contohnya Gereja yang beraliran Luther dan Calvin sudah berbeda.

      Hapus

Teologi Praktika

Pemahaman Hidup Persekutuan Gereja (Koinonia) I.                    Pendahuluan Gereja merupakan tempat persekutuan untuk orang perca...