Doktrin Kristologi (Konsili Efesus
dan Chalsedon dan Konstantinopel II-III)
I.
Pendahuluan
Dalam
doktrin Kristologi mengenai tentang tabiat Kristus. Dimana tentang kepribadian
Yesus dipertanyakan. Disini para konsili memperdebatkan masalah tentang doktrin
Kristologi. Yesus itu hadir sebagai manusia sejati dan Allah hadir dalam diri
Yesus Kristus. Disini juga konsili memperdebatkan masalah-masalah itu. Semoga
dapat menambah wawasan kita bersama.
II.
Pembahasan
2.1.
Latar Belakang Doktrin Kristologi
Pertikaian
tentang Trinitas diusul dengan pertikaian tentang kedua tabiat Kristus. Yang
menjadi persoalan adalah bagaimana eratnya hubungan antara kemanusiaan dan
keilahian didalam diri Kristus.[1] Kristologi
dan ajaran Trinitas senantiasa saling mempengaruhi, maka bukanlah suatu
kebetulan kalau dalam abad ke-4 M. Terjadi kontroversi pertama mengenai
Trinitas dan baru kemudian mengenai Kristologi. Ajaran mengenai Trinitas
memberi perhatian terhadap masalah keesaan Allah dalam konteks iman, tidak
hanya berkata-kata tentang keilahian Bapa, tetapi juga mengenai keilahian Anak dan
Roh Kudus. Pada pihak lain, Kristologi menaruh perhatian terhadap masalah hubungan
antara apa yang ilahi dan apa yang insani dalam pribadi Yesus Kristus.
Persoalan itu bukan saja persoalan dengan Yesus Kristus, bahwa yang diungkapan
disini bahwa Yesus Kristus adalah manusia sejati, dan Allah sendiri hadir dalam
Dia, bahkan Ia sendiri adalah Allah.[2]
2.2.
Latar Belakang Konsili
Konsili
merupakan yang diambil dari bahasa latin yaitu “Concillium” berarti rapat untuk merundingkan sesuatu. Kata yang
dipakai adalah kata sinode dari bahasa Yunani
“synodos” yang juga berarti
rapat atau pertemuan. Dalam gereja-gereja kuno istialh-istilah ini dipakai
untuk merundingkan perkara-perkara kegerejaan.[3]
2.2.1.
Konsili
Efesus
Konsili
Efesus yang dipimpin oleh Theodosius II untuk menyelesaikan pertikaian
Nestorius pada tahun 431. Konsili dibuka pada 22 Juli 431 oleh Memnon.[4] Didalam
Konsili Efesus Cyrillus yang menang, akan tetapi kemenangan Cyrillus tidak
bertahan lama, seorang kepala biara, begitu menekankan keesaan Kristus sehingga
ia tidak mau membedakan lagi kedua tabiat Kristus. Setelah Kristus menjadi
manusia ia mempunyai satu tabiat saja, campuran antara yang ilahi dan yang
manusiawi. Pendapat ini disebut Monofistisme
dari kata Monos adalah satu dan fysis adalah tabiat. Pendapatnya
menimbulkan perlawanan, karena dengan demikian Kristus sebagai oknum campuran
bukan lagi manusia sejati seperti kita, bahkan juga bukan Allah yang sejati
seperti Allah Bapa, akan tetapi yang ditekankan Cyrillus adalah Kristus adalah
Allah seperti Allah dan menjadi manusia, supaya manusia diselamatkan.[5]
Dalam
pertikaian mereka adalah pertikaian tentang kedua tabiat Kristus itu tidak
begitu erat, misalnya “seperti minyak dan air” yang disatukan dalam gelas.
Zat-zat itu tidak bercampur, tetapi masing-masing mempertahankan sifatnya
sendiri. Sedangkan Cyrillus mengatakan hubungan itu seperti antara “susu dan
air”. Sifat air tidak nampak lagi ketika dicampur dengan susu.[6]
Konsili ini juga dikarenakan pertikaian mereka mengenai Bunda Allah (Theotokos) untuk Maria. Jemaatnya
terpecah belah menjadi dua, yaitu mereka yang mempertahankan pemakaian Bunda
Allah dan yang mempertahankan gelar Bunda Manusia (Antropotokos) untuk Maria. Nestorius merupakan suatu gelar baru
bagi Maria dibandingnya lebih tepat yaitu Bunda Kristus (Kristokos) sebab Kristus adalah sama dan manusia pada saat yang
sama. Dan pendapat ini kembali lagi ditentang oleh Cyrillus supaya Maria
disebut Theotokos.[7]
v Hasil Konsili Efesus
Dalam
konsili Konstatinopel ajaran Nestorius dikatakan sesat. Nestorius diminta untuk
menerima ajaran seperti yang ditulis Cyrillus dan kalau tidak ia dikucilkan.
Paus memberikan keistimewaan kepada Cyrillus untuk melaksanakan pengucilan jika
dalam tempo 10 hari Nestorius tidak melaksanakan keputusan sinode.[8]
Dan konsili juga memutuskan bahwa Nestorius dipecat dari keuskupan dan serta
pengajarannya tentang “tabiat Kristus” dikutuk. Dan ditegaskan lagi dalam
sidang konsili Efesus istilah Theotokos dibenarkan.[9]
2.2.2.
Konsili
Chalcedon
Konsili
Chalcedon dipangil oleh Kaisar Marcianus untuk menyelesaikan persoalan Eutyces
yang telah dikutuk oleh Leo. Konsili bertemu di Chalcedon pada bulan Oktober
451. Konsili ini dianggap sebagai konsili umum atau oikumenis yang ke IV. Namun
tujuan sebenarnya konsili Chalcedon ini meniadakan ajaran sesat, sehingga lebih
membantu untuk menjadi penjelasan tersebut terutama dalam arti negatifnya,
yaitu sebagai jaminan terhadap ajaran
sesat. Chacedon tidak menetapkan satu satu kristologi normatif, ia hanya
menentukan batas-batas gerak kristologi ortodoks. Rumusan chalcedon harus lebih
dilihat sebagai pagar pembatas dari pada alat pengekang. Rumusan mengemukakan
empat pokok melawan ajaran sesat kuno. Yaitu dalam diri Yesus Kristus
ke-Allahan yang sejati (Arius), dipersatukan dan tidak tidak terceraikan
didalam satu oknum (Nestorius). Ajaran Chalcedon dapat disimpulkan dengan satu
ungkapan: “Satu Oknum berkodrat dua”. Tetapi apakah artinya? Apa bedanya antara
“oknum” dan “kodrat”? Kedua istilah sebaiknya dipandang sebagai jawaban atas
dua pertanyaan. Pertama: Siapakah Yesus Kristus itu? Dialah oknum Allah Firman
yang satu yang telah menjadi manusia. Apakah sifatnya? Ia sungguh Ilahi dan
benar-benar manusia, dua kodrat. Dengan kata lain, didalam diri Yesus Kristus
terdapat hanya satu “Aku”, satu “subjek” dari segala sesuatu yang Ia alami.
Subjek atau oknum yang satu ini adalah Firman Allah, tidak ada yang lain (Oknum
yang lain) yang menjadi Yesus insani. Firman tetap sebagai Allah tanpa dikurangi
keallahan-Nya atau kodrat ilahi-Nya, namun Ia juga mengambil segala sesuatu
berhubungan dengan kemanusiaan atau kodrat insani[10]
v Hasil Konsili Chalcedon
Jumlah
yang ukup besar dari kelompok Alexandria menolak rumusan Chalcedon. Terjadilah
usaha-usaha untuk mendamaikan mereka yang mencapai puncaknya dengan
penyelenggaraan konsili konstatinopel pada tahun 553. Disitu rumusan Chalcedon
diberikan penafsiran menurut pandangan Alexandria. Akan tetapi ini masih juga
tidak memuaskan para pembangkang. Usaha membujuk mereka dilanjutkan dengan
menambahkan ajaran bahwa Yesus Kristus hanya mempunyai satu kemauan. Ini
ditentang oleh Maximus Sang Syahid dan ditolak pada konsili konstatinopel pada
tahun 680. Kalau debat-debat pada permulaan berkisar pada pokok-pokok yang
prinsip menyangkut pribadi Yesus Kristus, maka pembicaraan-pembicaraan yang
kemudian memberi kesan lebih merupakan perselisihan mengenai kata-kata. Debat itu
sering berubah menjadi argumentasi mengenai penafsiran terhadap tradisi serta
penggunaan rumusan-rumusan daripada Yesus Kristus yang hidup, yang diberitakan
dalam kitab-kitab Injil.[11]
2.2.3.
Konstatinopel
II-III
v Konstatinopel II
Konsili
Chalcedon mengakibatkan perpecahan yang sengit di Timur. Kelompok Antiokhia
merupakan minoritas mendukung Chalcedon. Sejumlah besar orang Alexandria
menentang Chalcedon dan berpegang pada rumusan Cyrillus “Satu-satunya kodrat
Firman yang telah menjadi manusia”. Oleh sebab itu mereka disebut monofisit
(dari kata Yunani artinya kodrat tunggal). Kontrafersi ini terus berlangsung
selama bertahun-tahun sehingga pada tahun 553 Justinus memanggil konstatinopel,
konsili oikumenes yang kelima. Konsili ini berusaha menerangkan para monofisit
dengan tafsiran rumusan Chalcedon menurut Cyrillus.[12]
Konsili ini mengartikan kembali kredo Chalcedon lebih kearah kesatuan kodrat
insani dan ilahi Yesus dan menetapkan bahwa istilah kesatuan hypostatis yang ditempa oleh Cyrillus
itu mengungkapkan arti yang tepat dari ajaran Chalcedon.[13]
Konsili
oikumenes V, yang berhimpun di Konstatinopel pada tahun 553 memberikan
perhatian baru terhadap masalah Kristologi. Pada abad ke-7 kaisar Heraclius
sekali lagi mencoba memenangkan kaum monofisit bagi gereja kerajaan. Pada tahun
633 ia mencapai kesatuan dengan suatu perumusan yang menetapkan bahwa Kristus
yang terdiri dari dua tabiat itu melaksanakan segala sesuatu dengan satu energi
yang bersifat theandrik (bersifat
ilahi-manusia). Formula ini kemudian membawa orang kedalam
kontroversi-kontroversi yang baru dan yang lebih pahit lagi. Konsepsi “satu
energi” menimbulkan perlawanan yang besar khususnya di Barat. Untuk satu
tertentu terdapatlah suatu persetujuan untuk menggantikan ungkapan “satu
kehendak”. Perumusan ini bahkan disahkan oleh Paus Honorius I. Tetapi ungkapan
itu tidak dapat memuaskan pengikut-pengikut pengakuan iman Chalcedon. Timbullah
perlawanan yang hebat di Timur dan Barat terhadap monotheletisme. (ajaran satu
kehendak). Tetapi pada akhirnya perlawanan terhadap monotheletisme mencapai
kemenangan. Dalam konsili ini memutuskan bahwa Chalcedon harus ditafsirkan
menurut tafsiran Alexandria. Akhirnya suatu rumusan Alexandria yang sangat
disukai para monofisit diterima yaitu salah satu dari ke Tritunggalan
disalibkan dalam daging.[14]
v Hasil Konsili Konstatinopel II
Pada
tahun 544, atas desakan Aleksandria, kaisar mengeluarkan melawan Theodorus dan
Mopsuestia satu seorang teolog kelompok Antiokhia yang meninggal tahun 428 dan
mungkin seorang guru dari Nestorius. Hanya karya-karya pertama mereka yang
anti-Cyrillus dikutuk. Mereka sendiri sudah dipulihkan kembali kedudukan mereka
semula pada konsili Chalcedon. Yang terpenting dari konsili ini ialah harus
ditafsirkan menurut tafsiran Alexandria. Para uskup menagku bahwa menerima
keempat sinode yang kudus, yaitu Nicea, Konstatinopel, Efesus pertama, dan
Chalcedon telah menerima dan sekarang menghajar segala yang telah ditetapkan
konsili-konsili tersebut mengenai tenytang iman. Dalam anatema tersebut
menunjukkan bahwa istilah-istilah Cyrillus yang tidak terdapat dalam rumusan
Chalcedon dapat diterima asal saja tidak diartikan suatu pengadukan atau
pelarutan dari kedua kodrat yang mencair menjadi satu. Akhirnya suatu rumusan
Alexandria yang sangat disukai para Monofisit, diterima, yaitu: salah satu
Ketritunggalan disalibkan dalam daging.
v Konsili Konstatinopel III
Konsili
oikumenis VI yang berhimpun di Konstatinopel pada tahun 680-681, menyetujui
Dyotheletisme (ajaran tentang dua kehendak). Konsili inimemutuskan bahwa dalam
acuan terhadap persoalan Yesus Kristus mempunyai satu atau dua kehendak dengan
asumsi dengan Ia mempunyai kehendak, telah diperintahkan oleh pengakuan iman
Chalcedon. Tapi sejajar dengan pengakuan iman Chalcedon, disini diungkapkan
bahwa dua kehendak tabiat dalam Kristus diakui sebagai yang tidak tercampur, tidak
berubah, tidak terbagi, tidak terpisah.[15]
Para
monofisit tidak puas dengan hasilKonstatinopel pada tahun 553. Sergius uskup
agung dari Konstatinopel, mengusulkan suatu rumusan yang berasaldari severus.
Sergius kemudian mengusulkan rumusan yaitu bahwa Yesus Kristus hanya mempunyai
satu kehendak. Paus Honorius dari Roma setuju dengan rumusan ini pada tahun 638,
ia dan Sergius bersama-sama menerbitkan uraian tentang iman. Pada tahun 649
Paus Martinus memanggil sinode di Roma yang memproklamasikan bahwa Yesus
Kristus mempunyai dua kehendak, tetapi Martinus dibuang karena usahanya ini,
setelah itu posisi Roma terhadap Monotheletisme agak mereda sampai pada masa
jabatan Paus Agatho. Ia berhasil membujuk Kaisar Timur untuk memanggil konsili
lagi di Konstatinopel yaitu konsili Oikumenes ke enam.[16]
Tiga alasan utama dikemukakan untuk menyokong doktrin kehendak sebagai berikut:
1. Paus
Agatho mendasarkan diri pada sejumlah bagian Alkitab tetapi kesemuanya
menunjukkan perbedaan antara kehendak Yesus Kristus dan kehendak Bapa-Nya.
2. Agatho
jua menunjukkan bahwa doktrin dua kodrat berarti adanya dua kehendak juga.
3. Dibuktikan
bahwa tanpa kehendak insani, Yesus mempunyai kehendak insani yang tidak lengkap
dan karena itu tidak menjadi manusia sejati. Tanpa kehendak manusia, tidak ada
ketaatan atau kebajikan manusiawi. Jika tidak memiliki kehendak insani, maka
kita tidak dapat mengatakan bahwa Ia sama dengan kita.[17]
v Hasil Konsili Konstatinopel III[18]
Konsili
juga menghasilkan suatu rumusan Iman. Rumusan ini menyatakan bahwa konsili
dengan saleh menyetujui sepenuhnya kelima sinode yang kudus dan oikumenis.
Setelah mengutip seluruh rumusan Chalcedon, rumusan tersebut melanjutkan
sebagai berikut:
“Kami
menyatakan pula bahwa didalam (diri Yesus Kristus) ada dua kehendak yang
kodrati dan dua daya kodrati tanpa penceraian, tanpa perubahan, tanpa
pemisahan, tanpa pengadukan, menurut ajaran bapa-bapa yang kudus. Kedua
kehendak itu, kodrati tidak saling bertentangan (semoga Allah mencegahnya!)
sebagaimana ditandaskan oleh orang-orang sesat yang durhaka. Akan tetapi
kehendak insani-Nya mengikuti kehendak Ilahi-Nya yang Mahakuasa, ini tidak
melawan atau segan menuruti tetapi takluk...Kami percaya bahwa kita Yesus
Kristus adalah salah satu dari ketritunggalan dan Allah kita yang sejati, juga
setelah menjadi manusia. Kita menyatakan bahwa kedua kodrat-Nya bersinar dalam
satu hypostasis, dan dalam bentuk ini Ia mengadakan mukjizat dan menderita
sepanjang masa inkarnasi. Ini bukan hanya kelihatan demikian, tetapi merupakan
kenyataan, karena perbedaan kodrat yang harus diakui terdapat dalam satu
hypostasis. Walaupun berpadu, kedua kodrat menghendaki dan melakukan hal-hal
yang patut baginya. Dan ini terjadi tanpa pemisahan dan tanpa pengadukan. Oleh
sebab itu, kami mengaku dua kehendak dan dua daya, yang bergabung satu dengan
yang lain untuk menyelamatkan umat manusia”.
Paus
Agatho mendasarkan diri pada sejumlah bagian Alkitab. Tetapi
kesemuanyamenunjukkan perbedaan antara kehendak Yesus Kristus dan kehendak
Bapa-Nya, misalnya: “Aku tidak menuruti kehendak-Ku sendiri, melainkan kehendak
Dia yang mengutus Aku” (Yoh. 5:30). Ayat-ayat ini tidak sepenuhnya menyokong
ide dua kehendak dalam diri Yesus Kristus. Agatho juga menunjukkan bahwa
doktrin dua kodrat berarti adanya dua kehendak juga. Mereka yang mengatakan
bahwa Kristus memiliki satu kehendak, harus juga mengatakan bahwa kehendak ini
adalah kehendak Ilahi atau Insani atau suatu gabungan dari kedua-duanya
bercampur dan teraduk, atau... bahwa Kristus mempunyai satu kehendak dan satu
cara bekerja, yang keluar dari satu kodrat yang kompleks. Kesemua pilihan ini
berlawan dengan ajaran Chalcedon yang mengatakan bahwa ciri-ciri yang jelas
dari masing-masing kodrat dipertahankan. Maka tidak dapat diragukan lagi bahwa
doktrin dua kehendak adalah konsekuensi yang tak terelakan dari dua doktrin dua
kodrat dalam rumusan Chalcedon.
Ø Dibuktikan
bahwa tanpa kehendak insani, Yesus mempunyai kodrat insani yang tidak lngkap
dan karena itu tidak menjadi manusia sejati. Tanpa kehendak manusia, tidak ada
ketaatan atau kebajikan manusiawi. Dan Yesus tidak lagi menjadi pola hidup dan
teladan bagi kita. Jika tidak memiliki kehendak insani, mak kita tidak dapat
mengatakan bahwa Ia “sama dengan kita, Ia telah dicobai” (Ibr. 4:15).
III.
Kesimpulan
Konsili
merupakan rapat atau perundingan. Dimana mereka para konsili ini membahas
tentang Yesus Kristus itu. Bahwa mereka membuat pengajaran tersendiri tentang
memahami tentang tabia Kristus. Yang menjadi persoalan adalah, bagaimana
eratnya hubungan anatara kemanusiaan dan keilahian didalam diri Kristus. Bahkan
mereka membuat pernyataan masing-masing.tentang hubungan dalam pribadi yang
satu. Makanya mereka hadir untuk menyelesaikan permalahan itu.
IV.
Daftar
Pustaka
De Jonge Christian, Gereja Mencari Jawab, Jakarta: BPK-GM,
2003
De Jonge Christian, Gereja Mencari Jawaban, Kapital Selekta
Sejarah Gereja, Jakarta: BPK-GM, 2009
Lane Tony, Runtut Pijar, Jakarta: BPK-GM, 2009
Lohse Bernhard, Pengantar Sejarah Dogma Kristen,
Jakarta: BPK-GM, 2008
Syukur Nico, Teologi Sistematika, Yogyakarta:
Kanisius, 2004
Van Den End Th., Harta Dalam Bejana, Jakarta: BPK-GM,
2009
Wellem F.D., Kamus Sejarah Gereja, Jakarta: BPK-GM,
2006
Wellem F.D., Riwayat Hidup Singkat Tokoh-tokoh Dalam Sejarah Gereja, Jakarta:
BPK-GM, 2011
[1]Th.
Van Den End, Harta Dalam Bejana,
(Jakarta: BPK-GM, 2009), 71
[2]Bernhard
Lohse, Pengantar Sejarah Dogma Kristen,
(Jakarta: BPK-GM, 2008), 90-91
[3]Christian
De Jonge, Gereja Mencari Jawaban, Kapital
Selekta Sejarah Gereja, (Jakarta: BPK-GM, 2009), 1
[4]F.D.
Wellem, Kamus Sejarah Gereja,
(Jakarta: BPK-GM, 2006), 236
[5]Christian
De Jonge, Gereja Mencari Jawab,
(Jakarta: BPK-GM, 2003), 7-8
[6]Th.
Van Den End, Harta Dalam Bejana, 74
[7]F.D.
Wellem, Riwayat Hidup Singkat Tokoh-tokoh
Dalam Sejarah Gereja, (Jakarta: BPK-GM, 2011),142
[8]F.D.
Wellem, Riwayat Hidup Singkat Tokoh-tokoh
Dalam Sejarah Gereja, 143
[9]F.D.
Wellem, Kamus Sejarah Gereja, 234
[10]Tony
Lane, Runtut Pijar, (Jakarta: BPK-GM,
2009), 50-51
[11]Tony
Lane, Runtut Pijar, (Jakarta: BPK-GM,
2009), 52
[12]Tony
Lane, Runtut Pijar, 59
[13]Nico
Syukur, Teologi Sistematika,
(Yogyakarta: Kanisius, 2004), 228
[14]Tony
Lane, Runtut Pijar, 59-60
[15]Bernhard
Lohse, Pengantar Sejarah Dogma Kristen,
122
[16]
Tony Lane, Runtut Pijar, 61
[17]Nico
Syukur, Teologi Sistematika, 230
[18]Tony
Lane, Runtut Pijar, 62-63
Trimakasih.
BalasHapusSaya mau bertanya kepada Anda?
Apakah ini bisa dipakai untuk Gereja dan diajarkan kepada Gereja. Bagaimana para Gereja bisa menjawab dengan argumen yang bebeda?
Tolong ditanggapi?
Bisa. Melihat dari konteks Gereja nya saudara. Dan Gereja sudah memberi jawaban atas semuanya. Contohnya Gereja yang beraliran Luther dan Calvin sudah berbeda.
Hapus